15.7.06

TTM

21:58

Dewa usreg sendiri di sebuah ruangan kecil. Duduk di kursi yang tiap rabu malam dia duduki, dan sudah berlangsung lebih dari 1 tahun. Dia mengubah-ubah letak punggung dan pantatnya mencari posisi paling nyaman. Headset sudah nongkrong dengan indah di atas kepalanya. Tak berapa lama, dari ruang sebelah yang dipisahkan oleh kaca, tampak seorang cewek mengacungkan jari-jari tangannya. Mulutnya bergerak-gerak tanpa suara, tapi Dewa bisa mengerti apa yang ingin disampaikan cewek ‘kutilang darat’ itu. Three… Two… One…

“Selamat malam Zoomania… nggak kerasa udah Rabu lagi. Ketemu lagi sama gue, Dewa Oktara yang masih dan akan selalu setia jadi tempat sampah kalian di Rabu Kelabu”.

“Zoomania, sepertinya Jakarta sedang berduka ya? Dari siang tadi hujan nggak kelar-kelar. Sepertinya Zoomania lagi pada sedih ya? Sampai-sampai langit pun ikut mengangis. Alah. Hahaha… Tapi tenang aja, masih ada Dewa penolong di sini. Dewa bakal menemani Zoomania semua yang mungkin sedang malam ini mungkin sedang sedih dan butuh teman curhat.”

“Dewa masih nunggu di 3106184 atau 3106185. Sambil nunggu pasien, Dewa akan puterin kalian satu lagu yang… mmm… lumayan lama sih… dan… sedikit mellow. Dengerin aja yah. And stay tune on 101,6 ZOOM FM.

Lagu Big Big World Emily mengalun sendu.

“Balik lagi di Rabu Kelabu, masih sama gue Dewa Oktara. Temen gue yang sok romantis pernah bilang, kalo lo lagi kangen sama orang, coba liat langit. Karena di manapun orang yang lo kangenin itu berada, saat dia liat langit, kalian akan ngliat langit yang sama”

“Dewa Oktara masih menunggu di 3106184 atau 3106185 buat kalian yang pengen curhat. Gue ga kasi jaminan bakal solve problem kalian, tapi yang pasti, I can be your shoulder to cry on”

Biiip… biiip…

“OK, udah ada pasien. Malam Zoomania”

Malem, Wa”, terdengar seorang cewek dengan suara lembut dan sedikit serak.

“Malem, dengan siapa ini?”

“Gue Tari”

“Wow, nice name. Lo suka nari yah?”

“Engga juga”

“Lo kuliah apa kerja, Tar? Ri? Enaknya manggil gimana sih?

“Ri aja. Gue masih kuliah”

“OK deh Tari yang masih kuliah. By the way, suara elo kok lemes banget sih. Lo lagi sedih apa capek kuliah?”

“Gue engga sedih, Wa. Cuma gue lagi bingung”

“Hmmm… bingung yah? Ada masalah apa?”

“Ini tentang cowok, Wa”

“Ooo, cowok. Hehehehe”, ada nada mengejek.

“Iya, gue bingung sama sikap nih cowok. Maunya apa sih? Gue langsung cerita aja yah”

“OK, Dewa siap menyimak”

Ada cowok. Dia senior gue. Beda jurusan sih. Udah 3 bulan ini dia deketin gue. Apa gue yang ke ge-er an yah?”

“Emang dia deketin kayak gimana?”

“Awalnya sih dia cuma goda-godain, ngledekin. Tapi, akhir-akhir ini dia jadi perhatiaaan banget. Bantuin tugas-tugas kuliah gue, padahal engga sejurusan loh, ngajak makan bareng, nganter pulang. SMS cuma buat nanyain udah makan ato belom, telpon buat bilang selamat pagi, atau, selamat tidur. Kalo gue tidur kemaleman gitu dia suka ngingetin, tar sakit loh. Pokoknya gue jadi ngerasa special buat dia”

“Trus yang bikin lo bingung apa?”

“4 hari yang lalu, waktu kita ngobrol, tiba-tiba dia nyritain ceweknya. Ternyata dia udah punya cewek. Dan dia baru ngomong setelah gue udah ngrasa dekeet sama dia”

“Hmmm…”

“Dia critain ceweknya kayak yang tanpa beban. Seakan dia sama gue nggak ada apa-apa. Ya emang sih, secara status gue emang bukan apa-apanya dia. Tapi dia udah naroh sesuatu di hati gue”

“Then?”

“Itu yang bikin gue bingung, Wa. Tiba-tiba aja dia nyritain ceweknya. Trus, maksud dia selama ini apa? Perhatian dia selama ini gue artinya apa?”

“Hubungan dia sama ceweknya baik-baik aja? Waktu dia nritain ceweknya itu dia crita apa aja?”

“Kalo dari cerita dia sih, sepertinya hubungan dia sama ceweknya baik-baik aja. Dia critain kalo ceweknya itu cerewet kayak Tweety, tokoh kartun favorit si cewek. Dia juga bilang kalo kadang suka sebel nemenin ceweknya ke toko buku. Karena pasti lama. Tapi engga ada tanda-tanda kalo hubungan mereka bermasalah”

“Hmm… gitu yah?”

“Gue bingung, Wa. Sepertinya gue udah ngrasa jatuh cinta ke dia. Dan bukan gue yang mulai. Dia yang deketin gue duluan”

“Dari cerita elo, kalo gue boleh jujur ya, Ri. Mmm… menurut gue, tuh cowok emang tertarik sama elo. Tapi dia juga nggak mungkin ninggalin ceweknya. Menurut gue, tuh cowok pengen TTM aja sama elo. Dia pengen tau apa elo minat. Makanya dia crita kalo udah punya cewek”

“…”

Jeda kurang lebih 10 detik.

“Ri, lo nggak pa-pa kan?”

“Hmm, gitu yah? Sekarang gue udah nggak bingung lagi, Wa. Udah ngerti maksud tuh cowok. Tapi gue sekarang jadi sedih. Gue udah telanjur sayang sama dia. Gue sempet ngebayangin dia bakal nembak gue, trus kita jadian”

“Yaah… gue bukannya ngebelain tuh cowok lho, Ri. Tapi paling engga dia masih jujur sama elo”

“Tapi telat, Wa. Kenapa nggak dari dulu?”

“Sayang, gue kan udah bilang kalo dia mungkin aja tertarik sama elo. Kalo dia bilang dari awal, ya dia nggak bisa deket sama elo”

“Gue nggak mau jadi selingkuhan, Wa. Apalagi TTM”

“Semua terserah elo, Ri. Tari yang ngejalanin. Sori yah, Ri… tapi kalo gue bilang sih, sebaiknya elo lupain dia”

Iya, Wa. Gue tau. Thanks Dewa”

“Makasih juga, Tari”

Klik

Tak berapa lama, seantero Jakarta yang memutar channel ke 101,6 bisa mendengar suara Ratu: Teman Tapi Mesra.

9.7.06

Poligami

Arga berjalan dengan sekantung popcorn di tangannya menuju kursi yang berada di tengah-tengah ruangan. Hampir saja dia menabrak seorang seorang cewek ABG yang meleng karena ngobrol dengan ketiga temannya. Tak kurang dari 5 meter dari tempat kejadian itu, Ladya terkekeh melihat tingkah kekasihnya. Sementara Arga menatap balik dengan wajah songong.

Ladya menerima kantung popcorn yang masih terisi penuh sambil tersenyum. Sepertinya butiran-butiran jagung yang meledak itu berdesakan ingin keluar. Arga duduk di sebelahnya. 7:12, masih sekitar 20 menit lagi sebelum film diputar. Pikirnya setelah melihat kombinasi yang ditunjuk jarum panjang dan jarum pendek jam tangan di pergelangan kanannya.

"Kamu masih punya utang ke aku lho, A", kata Ladya manja sambil menyodorkan popcorn ke depan Arga. Ladya memanggil Arga dengan sebutan Aa, Arga sendiri yang meminta begitu. Arga mengambil beberapa butir dan memasukkan ke dalam mulutnya.

"Utang apa?", tanya Arga sambil mengunyah popcorn.

"Utang nonton"

"Ini kan lagi mau nonton"

"Kan utangnya nonton Berbagi Suami"

"Yaahh, kan udah nggak tayang lagi. Dibayar sama film lain aja yah?"

"Nggak mau, ah. Dulu katanya janji nonton eh malah tiba-tiba meeting"

"Yah, gimana lagi. Si bos juga maunya mendadak sih. Lagi pula bukannya kamu udah nonton sama Tita?"

"Iya sih, tapi pengen nonton lagi"

"Deuuh, segitunya. Emang bagus banget ya filmnya? Atau kamu mau mendukung poligami?", Arga bertanya menggoda.

"Iii... amit-amit deh. Pokoknya aku sangat menentang poligami. Kalian para pria itu memang egois"

"Egois?"

"Iya. Egois. Pria-pria sok itu menikahi lebih dari satu wanita. Emang ada wanita yang mau membagi orang yang dicintainya dengan wanita lain?"

"Itu bukan egois, sayang. Justru karena kita itu baik hati, makanya kita bersedia memberi wanita-wanita itu perlindungan dengan cara menikahinya", Arga membela kaumnya. Dia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah kedua tangannya, seperti membentuk tanda kutip saat mengucap kata baik hati.

"Alah", Ladya mencibir. "Bilang aja kalo kalian nggak cukup dengan satu body"

"Tapi cukup dengan satu hati"

Arga tertawa. Ladya merengut.

"Yaahh, ngambek. Udah dong, aku janji ntar nggak bakal berpoligami deh. Cukup kamu. Satu. Swear", Arga mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Dua minggu", sambungnya, menirukan gaya Deedy Mizwar di film Kiamat Sudah Dekat.

Ladya tersenyum menahan tawa.

"Tapi tetep aja nggak rela kalo liat ada pria-pria yang berpoligami gitu", Ladya masih membela kaumnya.

"Yah, mau gimana lagi? Baik hukum agama maupun hokum negara kita membolehkan para pria beristri lebih dari satu. Nabi Muhammad sendiri istrinya berapa?"

"Iya, tapi hukum-hukum itu bukan saja membolehkan, tapi juga MENSYARATKAN. Salah satunya harus adil dalam segala hal. Nabi Muhammad lain. Beliau menikahi wanita-wanita itu dengan niat yang tulus untuk melindungi mereka. Dan aku yakin nggak ada yang bisa seadil Muhammad."

"Tapi kamu nggak boleh beranggapan bahwa semua pria jaman sekarang yang memutuskan untuk berpoligami tidak punya tujuan seperti Muhammad."

"Iya sih. Aku juga nggak nge-jugde begitu. Tapi itu presentasinya berapa? Dan kalaupun iya, aku nggak yakin dia bisa adil. Okelah dia pasti berusaha untuk adil terhadap istri-istrinya. Tapi siapa yang tahu kalo ternyata salah satu atau bahkan semua istrinya masih menyimpan rasa cemburu di hatinya. Sementara, sang suami sudah menganggap bahwa dia sudah berlaku adil."

"Sekarang gini deh, perbandingan pria dan wanita di dunia 1:5. Kalo nggak salah loh. Nah, kalo nggak ada poligami, nggak mungkin semua wanita bisa menikah. Kecuali kalo mereka memilih jadi lesbian."

Ladya menatap Arga. Setengah melotot. Arga sadar kalau kekasihnya itu sudah mulai marah. Kadang dia suka membuat kekasihnya itu marah. Tambah menarik, pikirnya.

"Oh iya lupa. Perbandingan itu tidak menyebutkan juga jumlah pria yang homoseks", Arga terlihat tersenyum.

Ladya tambah merengut.

"Iya… iya… sudah deh. Aku ngerti."

Ladya masih merengut.

"Jadi kamu benar-benar menolak poligami nih?"

"Ya iya lah. Kamu mau mendukung poligami?", suara Ladya meninggi.

"Aku nggak mendukung, sih. Dan aku tidak pernah terlintas untuk mempraktekkannya. Tapi aku juga nggak mengutuk para pelaku poligami itu. Yang pertama karena naluri lelaki. Yang kedua... kami punya kesempatan. Perbandingan jumlah pria wanita tadi jelas menguntungkan kami, dan hukum poligami itu pasti dibuat atas pertimbangan jumlah itu tadi juga."

Arga melanjutkan.

"Seandainya kalau keadaannya sekarang dibalik. Jumlah pria jauh lebih banyak dari pada wanita. Kemudian, hukum membolehkan kalian bersuami lebih dari seorang. Apa kalian para wanita masih mengutuk poliandri sebagaimana halnya poligami?"

Ladya sekarang benar-benar terdiam. Cukup lama mereka diam. Sampai...

'Mohon perhatian. Pintu teater 3 telah dibuka..."

"Masuk, yuk", Arga mengawali pembicaraan. Ladya tersenyum mengangguk. Sepasang kekasih itu kemudian berjalan ke arah kiri dari tempat mereka duduk sebelumnya.

2.7.06

Welcome Wulan!!

Minggu pagi di bandara Sukarno Hatta.

Dari terminal kedatangan, Wulan mendorong troli berisi 2 travel bag besar . Sebuah hand bag hitam nangkring di bahunya. Gadis hitam manis itu celingukan mencari seseorang atau beberapa orang yang mungkin dikenalnya. Dengan tingginya yang 170 cm itu, hampir tak mungkin orang-orang yang di depannya menghalangi pandangannya. Tapi, lalu lalang hari Minggu itu amat ramai. Tak berapa lama, lengan yang dibalut cardigan krem itu melambai, dan disambut lambaian seorang gadis bertubuh mungil. Gadis itu sedikit meloncat-loncat, sehingga T-shirt merah yang melindungi tubuhnya sedikit terangkat, memperlihatkan kulit pinggangnya yang putih. Sementara, pria di sebelahnya sibuk memencet-mencet keypad ponselnya. Entah apa yang dia lakukan.

"Wulan!! Di sini!!", Rhea berteriak sambil tetap melambai setelah akhirnya melihat sosok yang ditunggunya sejak hampir satu jam yang lalu.

"Arga ngapain sih? Itu si Wulan tuh", Arga yang merasa ada pukulan keras di bahunya segera menghentikan aktivitas berponselnya.

"Heh! Mana? Ini baru mau ditelpon"

Wulan yang sudah berjarak tak kurang dari 5 meter dari kedua sahabatnya terlihat ngos-ngosan mendorong troli berikut isinya yang beratnya mungkin bisa mencapai 20 kg itu. Dia tersenyum.

"Rheaa..." Wulan menyapa. Dilanjutkan cipika cipiki.

Klasik. Pikir Arga.

"Kok Rhea doang? Gue juga dong. Udah disiapin dari jam 5 subuh nih, khusus buat Wulan seorang", canda Arga sambil menggosok-gosok pipinya sendiri.

Wulan cuek. Perhatiannya masih pada Rhea. Dia merasa ada sesuatu yang beda pada sahabatnya itu.

"Ciyeeh, habis dapet wangsit apa neng dari gunung Galunggung?", celetuk Wulan sambil menarik lembut rambut sebahu Rhea. Hal yang jarang bisa dilakukan karena biasanya helaian rambut itu tidak bisa disatukan dalam satu ikatan karet yang biasa dikenal dengan kuncir.

Rhea yang diposisikan sebagai terdakwa hanya diam sambil tersenyum malu-malu.


"Lu cewek kayak ga tau aja kenapa cewek ngrubah penampilannya. Ada temen kantor yang memenuhi 7 dari 10 kriteria pria idaman seorang Rhea", Arga yang ga ditanya malah nyerocos ngejawab sambil mengambil alih troli dari tangan Wulan.

"Kotex kali, 7 dari 10? Iklan banget sih ", Rhea dongkol. Wulan dan Arga tersenyum sambil melirik satu sama lain.

"Lan, tadi kamu kayak orang ilang aja celingukan ga jelas gitu", Rhea mengalihkan pembicaraan.

"Iya, hampir aja kita mo bentangin spanduk yang ada tulisan WULAN, WE'RE HERE. Lagian, Lan. Kok telat sih?", tanya Arga sambil melihat jam tangannya.

"Sori ya teman-temanku yang baik hati, tadi bannya bocor, trus susah cari tukang tambal ban. Untung mereka bawa dongkrak sama ban serep. Hahahaha..."

"Eh, lu bisa ngaco juga, Lan. Cuci otak ya di Kalimantan? Apa kena sihir orang Dayak? Biasanya lurus-lurus aja".

"Emang rambut, lurus".

"Iya deh iya, yang rambutnya kena efek jatuh cinta"

Rhea yang baru sadar kalo kata-katanya barusan malah jadi bumerang buat dirinya buru-buru melancarkan manuver untuk kabur.

"Udah, ah. Yuk pulang"

"Tapi tar kalo udah nyampe crita yah", jawab Wulan sambil menyenggol bahu sahabatnya itu.

Rhea sekali lagi Cuma diam. Arga yang berjalan tepat di belakang kedua wanita itu tertawa cekikikan.

"Kita naik taksi ya, Lan. Mobil gue masuk bengkel", Arga menginfokan.

"Iya, gapapa. Oh, iya. Libby sama Dewa mana?" Wulan baru nyadar kalau ada yang kurang.

"Dewa lagi ngeservis komputernya. Lagi penyakitan", jawab Rhea.

"Kenapa lagi tuh kompi?"

"Gimana gak penyakitan terus kalo 20 Giga isinya bokep semua"

"Gak berubah juga tuh anak"

" ... "

"Libby? Shopping?"

"Engga. Lagi masak dia. Buat acara penyambutan putri Solo."

"Aku dari Jogja, Rhe. Bukan Solo."

"Hehehehe... beda tipis," kelit Rhea sambil mengatupkan ibu jari dan jari telunjuk kanannya.

"Libby? Masak?" Wulan mengerutkan alisnya.

"Semalem kita maen poker. Ga pake celontengan bedak lagi. Sebagai gantinya siapa yang kalah, dia harus masak hari ini. Tenang aja, nanti kalo sekiranya tuh masakan bikin kita keracunan, kita makan di luar aja."

"Dasar kamu, Rhe."

Mereka berdua tertawa. Arga yang sudah menunggu di pintu taksi setelah memasukkan dua tas super gede Wulan ke bagasi, menatap dongkol kedua wanita yang sudah dikenalnya sejak 4 tahun lalu itu. Dasar kaum hawa. Umpatnya dalam hati.

Tiga sahabat itu berhahahihi di dalam taksi. Arga di depan, Wulan di belakang sopir, dan Rhea di sampingnya. Mereka bercerita pengalaman masing-masing, juga disertai obrolan ringan ini itu. Pak sopir tidak tahan untuk tidak ikutan nimbrung. Rhea sedikit lega karena belum ada yang berinisiatif membahas rambut barunya.

"Ladya gimana kabarnya, Ga?"

"Baik, kok. Oh, iya. Dia titip salam buat elu. Sori ga bisa ikut jemput. Lagi liburan ke Bali sama keluarganya," jelas Arga.

"Engga apa-apa. Kayaknya pada repot banget sih aku datang. Eniwe, kok kamu ga ikutan ke Bali?"

"Kan masih calon keluarga. Hahahahaha…"

"Kalian udah brapa lama sih? Mmmm ... 2 tahun ya?"

'Tanggal 19 bulan ini tepat 2 tahun 4 bulan."

"2 tahun 4 bulan? Udah bisa apa aja?" sela Rhea

"Maksudnya... ?" Arga dan Wulan merespon hampir berbarengan karena bingung.

"Anak Uwa aku udah umur 3 taon cuma bisa ngomong mama doang."

"Sarap," Arga mengumpat jengkel. Rhea cekikikan.

"Udah lama gitu bukannya nikah aja, Ga?" lanjut Wulan.

"Hmmm... pengennya sih, hehehe... Gue masih nabung dulu, Lan. Buat beli rumah, ini itu. Mo gue kasih makan apa anak bini gue nanti?"

"Makan cinta," sela Rhea lagi.

"Lu kayaknya sentimen banget sih sama gue, Rhe."

"Udaah... Sesama Bandung ga boleh perang," Wulan menengahi.

"Sesama Bandung? Rhea mah Bandung coret. Hahahaha..." Arga tertawa. Rhea cemberut. "Iya deh iya, coret pun depannya tetep Bandung. Sesama Bandung," tambah Arga sambil mengacungkan jari kelingkingnya ke depan Rhea. Jeda beberapa detik, kelingking Rhea terangkat mengait kelingking Arga.

'Piss. Bandung poreper," kata Arga.

Keduanya tertawa. Wulan tersenyum.

"Bang, tikungan depan belok kanan yah," kata Rhea pada sopir taksi mencegah taksi kebablasan.

Mereka sudah sampai di kawasan Menteng. Taksi berbelok halus ke kanan, seperti yang diinstruksikan Rhea pada si sopir menuju sebuah perumahan yang bisa dibilang elit. Tak lama kemudian mereka sampai di rumah nomor 67. Rumah bercat kuning gading itu besar, ada dua lantai, dengan halaman dan taman yang luas. Rumah ini milik Oomnya Dewa. Karena ada tugas ke luar negeri untuk waktu yang lama, sementara kedua anaknya sudah berumah tangga dan masing-masing sudah punya rumah, maka kewajiban menjaga rumah seharga milyaran itu diserahkan pada keponakannya, Dewa. Dewa sendiri juga anak orang borjuis. Anak tunggal yang harus siap menerima tampuk kepemimpinan perusahaan ayahnya setiap saat ayahnya pensiun. Orang tua Dewa tinggal di kawasan Bintaro. Tapi, karena Dewa sendiri bekerja sebagai announcer sebuah radio di daerah Thamrin , dia memilih untuk tinggal di rumah Oomnya dengan alasan jarak lebih dekat ke kantor. Agar tidak kesepian, Dewa mengajak sahabat-sahabatnya semasa kuliah di Bandung. Arga, Rhea, Libby, dan sekarang nambah lagi Wulan.

Setelah membayar sejumlah sebagaimana angka yang dibentuk deretan led merah di argometer pada si sopir taksi, Arga turun dan menurunkan travel bag dari bagasi. Sementara Rhea dan Wulan berjalan masuk tanpa menoleh pada Arga yang jadi kuli angkut dadakan.

"Wulaaaan... akhirnya nyampe juga," teriak Libby. Celemek biru tua melekat di tubuhnya.

"Kok lama sih? Gue udah nunggu lama tau. Pesawatnya delayed yah? Wah, elo tambah cantik aja, Lan. Suer. Tambah gemukan lagi, jadi kliatan seksi loh," cerocos Wulan setelah melakukan ritual umum cewek-cewek yang lama berpisah dan akhirnya bertemu kembali.

"Libby nyerocos mulu nih. Makanan udah siap blom?" sergah Rhea memotong nostalgia Libby dan Wulan.

"Siap. Bos. Siapa dulu dong kokinya?"

"Serius ? Masak apaan?"

"Yee... kalo ngga percaya liat aja tuh di meja makan. Sudah siap untuk 5 orang. Ada cap cay, kwetiauw, sapo tahu, ... lu masih suka Chinese food kan, Lan?"

"Banyak banget. Libby masak apa beli?" tuduh Rhea.

"Kalo bisa beli, ngapain susah-susah masak?"

"Dasar curang. Trus itu ngapain pake celemek segala?"

"Hehehe... Karena udah ketauan, dilepas aja deh," Libby nyengir sambil melepas ikatan celemek di pinggangnya. Terlihat celana pendek putih dan tank top dengan warna yang sama di balik celemek biru tua yang ditanggalkan itu.

"Dasar," kata Rhea dongkol. Wulan sekali lagi cuma tertawa melihat kelakuan kedua sahabatnya itu.

"Makan apa aja deh. Laper nih. Malah lebih bagus kalo bukan masakannya Libby," dari tangga Arga tampak kelelahan setelah meletakkan barang bawaan Wulan di lantai atas. "Kamar elo di atas, Lan. Tas udah ditaroh di sana semua. Cewek di atas cowok di bawah," Arga mengedipkan mata ke Wulan.

"Ya udah, makan aja yok," ajak Libby.

"Ngga nunggu Dewa dulu?" tanya Wulan.

"Oh, iya. Tuh anak lama banget sih. Nyantol di mana lagi dia? Ngga inget kalo Wulan dateng apa?. Gue telpon aja deh."

Arga merogoh ponsel di sakunya, mencari nama Dewasinting. Terdengar Naluri Lelaki-nya Samson. Beberapa detik kemudian

"Wa, di mana lo?"

...

"Wulan udah sampe nih. Mo ke mana lagi sih lo?"

...

"Kutu kupret. Gue udah laper tau. Nih para wanita ngga mau makan kalo ga kumplit. Udah buruan balik."

...

"Beneran 15 menit ya. Lebih dari itu, elo yang gue makan"

Arga memasukkan lagi ponselnya ke saku celananya.

"15 menit lagi katanya."

"..."

"Dooh, gue udah laper nih. Makan duluan boleh ga?"

"Yee, Arga. Ngga boleh. Tuh ada brownies sisa kemaren tuh", Rhea protes.

Arga akhirnya nurut. Memang susah jadi pria tunggal di antara tiga wanita. Rese semua lagi. Kecuali Wulan tentunya. Dia makan juga brownies yang dibeli Rhea kemaren. Dia tahu, 15 menit menurut Dewa, berbeda dengan manusia pada umumnya. Dewa tuh hidupnya di alam jin, yang waktunya beda dengan alam manusia.

Rhea, Libby, dan Wulan naik ke lantai 2 menuju kamar Wulan. Bongkar muatan travel bag Wulan, milah-milih oleh-oleh sambil berhahahihi. Mengacuhkan Arga yang mentitili brownies karena lapar.

30 menit kemudian, sebuah Honda Jazz merah hitam memasuki halaman rumah megah itu. Arga yang tertidur di depan TV dengan remote control di tangannya terbangun, menyadari kedatangan seorang manusia. Pasti Dewa, pikirnya.

Lelaki tinggi besar itu mengenakan jeans biru tua, T-shirt warna senada, dan jaket kulit hitam.

"Woi, bangun lo!! Sepi banget. Pada ke mana? Katanya Wulan udah nyampe?"

"Gue nungguin elo sampe ketiduran, dodol!!. Lagi pada di atas tuh. Gue panggil deh"

"Jangan. Gue aja yang ke atas. Pasti mereka terkejut kedatangan cowok ganteng."

"Ya udah terserah deh. Gue mo muntah dulu"

Dewa setengah berlari ke lantai 2, menuju kamar yang terletak di ujung, tempat dulu dia dan sepupunya main perang-perangan.

"Hi, girls!" sapanya sok artis

"Dateng juga akhirnya si tukang ngaret," Libby berseloroh.

Dewa mendekati Wulan kemudian menyalami tangannya.

"Gimana kabarnya, Lan?"

"Baik. Kamu sendiri gimana?"

"As you see. Ngomong-ngomong, mana nih bakpianya?"

"Bukan cuma kompinya nih yang error. Yang punya juga error," kata Rhea. "Sejak kapan di Banjarmasin ada bakpia? Dasar dodol!"

"Oh, Banjarmasin itu khasnya dodol? Ya udah dodol juga ngga papa deh"

"Capek deh ngomong sama Dewa," Rhea jengkel.

"Udah, ah. Yuk makan aja dulu. Kasian si Arga tuh," Libby menengahi. Sambil langsung berjalan keluar tanpa menunggu persetujuan teman-temannya. Ketiganya pun akhirnya mengikuti Libby di belakangnya.

Wulan agak canggung dengan kedatangan Dewa. Dewa pun demikian, hanya dia lebih mampu menyembunyikannya. Sejak kuliah dulu, di antara kelima sahabat ini, Wulan dan Dewa paling sering berselisih pendapat.

Di bawah, Arga sudah duduk di meja makan. Piring di depannya sudah dalam keadaan terbuka. Sendok di tangan kanan, dan garpu di tangan kiri.

"Ngapain aja sih? Gue abisin baru tau rasa lo"

"Lu kayak ga makan 3 hari aja, Ga," kata Dewa sambil duduk di sebelah Arga.

Setelah lengkap berlima, sesuai keinginan para wanita, barulah mereka mulai makan.

"Selamat makan semua," Rhea membuka acara makan siang itu.

"Selamat datang, Wulan" Dewa menimpali.

Wulan tersenyum kaku.



by me