19.7.08

from CS to VS

Sudah menjadi ritual saya dan Serra setiap ke Mal Ambasador, entah itu memang niat shopping atau sekedar jalan-jalan yang ujung-ujungnya tetep bawa tentengan berisi baju, hal yang tak boleh ditinggalkan adalah memborong DVD bajakan kemudian ke Chow King hanya untuk menikmati segarnya Nai Cha. Memang sih, segala sesuatu dengan embel-embel kata dasar BAJAK itu tidak baik, tapi kita kan bukan pembajak, hanya penikmat bajakan.

Seperti sekarang ini, meskipun sudah mbriyut dengan kantong plastik bertuliskan Arnessio dan Women @ Work, Serra masih rela berdesakan dan memilah-milah jejeran DVD bajakan. Saya, yang hanya mengantongi T-Shirt hijau tosca dengan krah sabrina dari Nit Not Blue, gak mau ketinggalan ndusel di samping Serra.

Serra tampak sibuk menaruh belanjaannya. Saya sedikit heran, kok tetangga cubicle saya ini tiba-tiba belanja segitu banyak baju kerja, padahal dia sudah memproklamirkan bahwa jeans dan T-Shirt sebagai baju kebesarannya. Kalau saya tidak salah ingat, sudah 4 kemeja, 2 lengan panjang dan 2 lengan pendek, 1 vest rajut, 2 celana, 1 rok dan blazer. Eh, tunggu dulu, blazernya 2 biji, dua biji. Padahal lagi, setahu saya dia paling anti beli blazer, alasannya selain mahal juga ga bisa sering dipake, sampai dibelain minjam kalau memang sangat dibutuhkan. Sekarang malah beli 2 dalam 1 hari. Trus, masih bilang pingin nyari pantofel tertutup dengan heel 7 cm.

Jangan-jangan ini bukan Serra, ada seseorang dengan kekuatan khusus dan tujuan tertentu yang menyamar jadi Serra. Wah, saya harus hati-hati. Atau, apakah Serra kesurupan? Atau ada orang yang mencuci otaknya? Atau dia jadi korban malapraktek dokter yang salah memberi resep obat maag tetapi malah obat tetes mata yang ditulis? Dari pada saya berspekulasi ga jelas, sebaiknya saya selidiki saja.

"Ra, lo salah minum obat ya?"
"Ha?!? Film akrobat? Cari di KOREA. Filmnya Jacky Chan pasti banyak akrobatnya." Masih asik dengan barisan DVD di kotak bertuliskan DRAMA.
"Emang Jacky Chan dari Korea ya?" tanya saya ngedumel setengah berbisik. "HARI INI LO SALAH MINUM OBAT YA?!?!" Kondisi yang sangat ramai memaksa saya mengeluarkan suara dengan volume mendekati maksimal sampai Ibu-Ibu yang sedang membalik-balik film India di sebelah saya menoleh.
"Heu? Film Tobat? Ada ya film judulnya Tobat? Gue ga pernah denger, Ta. Coba lo cari di FILM INDONESIA."

Tobat beneran deh gue. Akhirnya saya lebih mendekat ke Serra.

"Ra, tumben-tumbenan lo beli baju kerja segitu banyak?"
"Apa? Oh, ini. Gapapa kok, cuma mumpung lagi sale aja. Dan kebetulan kan gue jarang belanja baju kerja"
"Oooo gituuu..." Meskipun kurang puas dengan jawaban tadi. Saya pun melanjutkan mencari dorama Jepang yang kira-kira lucu, sedangkan Serra beralih ke film KARTUN.

"Kungfu Pandanya udah bagus blom, mba?" tanya Serra ke mba penjualnya.
"Lumayan sih"
"Hmmm.... lumayan, berarti belum bagus."

"Minggu depan ke Bandung yuk." Saya gabung lagi dengan Serra.
"Ngapain?"
"Ya maen aja. Ngapain kek. Belanja, makan..."
"Wah, gue sibuk minggu-minggu ini, Ta. Kapan-kapan aja ya."
"Heleh. Lagu lo sibuk. Sibuk nongkrongin DVD Player iya."
"Enak aja lo. Gue serius nih. Gue mau baca-baca aja di rumah."
"Elo? Baca? Ckckck... efek global warming memang dahsyat ya."
"Yeee ngaco. Gue tuh ya.... Mba, cobain yang ini dong." Serra beralih ke mba penjual DVD.
"Lo kenapa? Yang ini juga ya, mba" Saya ikutan.
"Lo tau Mba Nanda, kan?"
"Ya tau lah. Yang megang kolom Opinic itu kan?"

Semua orang dia kantor redaksi kami pasti kenal kolom Opinic yang terkenal membahas dan mengupas banyak hal. Mulai dari perbedaan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, bagaimana cara mengunyah makanan mempengaruhi berat badan, sampai paham geosentris dan heliosentris.

"Iya. Nah, Mba Nanda kan lagi hamil tua tuh, sudah sekitar 7 bulan lah. Gosipnya, Mba Vera dari sekarang udah nyari pengganti kalo nanti Mba Nanda cuti."
"Hmmm.... trus?"
"Yah, masa musti gue jelasin lagi sih. Gue pengen dapet posisi itu. Makanya mulai sekarang musti baca-baca banyak referensi, biar gaul gitu deh. Ya meskipun statusnya cuma pengganti dan sementara, paling ngga Mba Vera liat kemampuan gue."
"Hmmm.... serius lo?" tanya saya santai sambil membaca sinopsis Love In The Time Of Cholera. Jujur saya ragu dengan kata-kata teman saya itu. Ga biasanya dia serius dalam karirnya.

"Pramadita Suhardono...."
Saya kaget. Tidak biasanya Serra memanggil nama lengkap saya.
"Gue serius, Ta. Ini gue lagi bikin artikel tentang Syndrom Turner dan Kleinefelter dan hubungannya dengan trans gender."
"Buset. Lo ngomong apaan tadi Ra?"
"Ah, terserah lo deh. Pokoknya tu artikel musti udah ada di meja Pemred dan dibaca Mba Vera minggu depan. Musti bagus dan cepet sebelum keduluan Harlan."

Harlan? Apa hubungannya dengan Harlan? Serra sepertinya juga terkejut menyadari bahwa dirinya keceplosan ngomong.

"Kok... Harlan? Harlan maksud lo Harlan lo...?"
"Iya. Harlan Sagita Pambudi. Siapa lagi? Gue ga mau kalah dari dia, Ta." Kata-katanya melirih.
"..."
"Gue juga ga ngerti, Ta. Gue jadi ga suka liat dia sukses. Lo tau kan dia sekarang lagi di atas nagin gitu, naik jabatan, pegang 3 rubrik, udah gitu tambah deket sama Mba Vera."
"Ra, gue ga ngerti deh. Dulu lo kan..."
"Dan dia sudah tunangan... dan sebentar lagi menikah."

Waduh. Saya jadi tambah bingung. Saya tahu sekali bagaimana perasaan Serra pada Harlan. Betapa Serra sangat mengagumi Harlan. Harlan yang baik lah, yang selalu bantuin Serra selesaiin kerjaannya. Harlan yang cerdas lah, yang selalu jadi problem solver masalah Serra. Harlan yang kreatif, banyak ide, lucu, blablabla... Serra yang suka sebel karena Harlan selalu membuatnya merasa bodoh, tapi justru di depan Harlan saja dia bebas merasa bodoh. Dan saya tahu Serra bukan sekedar kagum, tapi bisa dibilang Serra sudah jatuh hati pada Harlan. Saya juga tahu kalau Serra memendam perasaan itu hampir 2 tahun, berusaha memposisikan dirinya sebagai kawan, menata hatinya bahwa dia hanyalah partner kerja, tak bisa lebih karena Harlan sudah punya kekasih.

Saya tidak mengerti kenapa Serra menyiksa diri dengan menutup hatinya pada pria lain untuk pria yang tidak mengerti perasaan dia. Serra baru berhenti menuruti perasaannya ketika melihat cincin tunangan di jari Harlan. Saya masih ingat hari ketika dia menelepon saya dan hanya berkata "Don't ask why, just let me cry and I will be fine tomorrow" sedangkan sisanya adalah isak tangis. Tetapi dia menepati kata-katanya, esoknya dia ke kantor dengan wajah sumringah memberi selamat pada Harlan seakan tak terjadi apa-apa. Sejak itu dalam perbincangan kami tak pernah ada topik tentang Harlan. Sampai hari ini.

"Gue cuma ga mau kalo gue kalah sama dia, ya paling ga sejajar lah, punya prestasi yang sama banyaknya sama dia. Gue pengen dia berpikir kalo gue ga bisa diremehin, gue bukan gadis bodoh yang selalu tampak bodoh di depan dia."
"You are not. Dan lo ga perlu buktiin itu ke Harlan. Untuk apa?"
"Lo perhatiin ga sih status di Y!M dia sejak dia naik jabatan? Yang mau training di sini lah, yang susahnya handle itu lah. Begah gue bacanya."
"Hmmm.... jadi critanya lo suka sama cowok, trus begitu lo ga dapetin tu cowok lo anggep dia musuh." Saya jadi sedikit emosi. "Dan bungkusan itu salah satu amunisi lo buat ngadepin tu cowok kan? Tanya saya sambil melirik belanjaan Serra.
"Hei, bukan musuh. Tolong diralat ya, bukan musuh. Gue cuma mau dapet pengakuan kalo gue ga bisa diremehin. Gue, Serra Ospapea Muhtar, juga bisa berprestasi."
"Lo yakin cuma itu alasan lo?"

Setelah merasa DVD yang kami pilih kualitas bajakannya bagus, kami membayar dan pergi tetapi berhenti di tempat DVD lain.

"Hmmm... Lo tau ga apa yang ada di kepala gue sekarang?"
"Apaan?"
"Perasaan yang lo bilang lo simpen selama 2 tahun 4 bulan itu... itu bukan cinta."
"I'm glad to hear that."
"Heu?"
"Setelah gue pikir, sebenernya Harlan ga sebaik yang gue pikir. Dia tu sebenernya tau perasaan gue, dan dia manfaatin itu dengan baik."
"Kok lo bisa bilang gitu."
"Setelah hari itu, gue banyak mikir, Ta. Mikir... pake otak gue, bukan pake hati gue. Lo inget ga waktu gue debat sama Bahtiar tentang siapa yang musti pergi meliput ke Kampung Melayu waktu banjir dulu? Harlan kan ada di situ waktu itu. Trus dia bilang ke Bahtiar "Udah, Bar. Lu aja yang pergi, tar kalo ga ada perahu karet kan gue bisa naek lo. Kebetulan gue juga ada kerjaan." Dan lo bisa nebak kan tindakan gue selanjutnya? Gue pura-pura ngalah sama Bahtiar dan berangkat ke Kampung Melayu, nyatanya ga ada Harlan di sana. Dia ngerti, Ta. Gue yakin dia ngerti."

Saya cuma bisa menatapnya. Dari matanya saya menangkap emosi yang susah dijelaskan. Kecewa, marah, sedih.

"OK. Gue dukung lo. Bikin Harlan nyesel udah mandang lo sebelah mata. Dan yang paling penting, lo kan jadi semangat berprestasi."
"Ehehehe... siap bos. Eh lo tau Andre anak baru itu ga? Dia ternyata asik juga lho. Kemaren gue diskusi sampe debat seru sama dia."
"Ciyeeeh... ada mainan baru nih."
"Ahahaha... udah ah, kita ke Chow King sekarang. Haus banget."
"DVDnya udah nih?"
"Udah lah masa udah dong"
"Kita kan kerja di redaksi majalah bukan majadong"
"AHAHAHHAHAHA"


0 Comments:

Post a Comment

<< Home

by me