13.2.07

Elu-Gue vs Aku-Kamu

“Elu mau berapa lama lagi sih, Rhe? Kan bukunya udah dapet.”

“Iya, bentar lagi, By. Sabar dong sayang.” jawab Rhea ringan tanpa mengalihkan pandangannya dari buku tebal yang dipegangnnya. Libby tidak dapat membaca judulnya. Ah, sebenarnya Libby sendiri memang tidak peduli.

Sesuai kesepakatan, Libby menemani Rhea dulu ke Gramedia baru kemudian Rhea mengintili Libby browsing gaun. Sedangkan Dewa memisahkan diri ke Electronic Solution. Kedua cewek ini sepakat bahwa sebaiknya para cewek menjauhkan diri jika pria sudah masuk ke dunia elektronik. Tapi sebenarnya kedua cewek ini juga memiliki kecenderungan yang berbeda terhadap pemuasan diri yang mereka sebut spiritual orgasm. Tak heran Libby yang merasa asing di planet dengan dengan tumpukan kertas dari tadi memasang icon bosan di jidatnya. Dari awal masuk Gramedia, Libby sudah menuju ke daerah stationery. Sambil sesekali matanya menyapu seisi toko mendeteksi keberadaan Rhea. Sampai akhirnya dia merasa betul-betul jenuh di tempat itu.

“Rhe, gue duluan aja deh.”

“Heh!! Kemana?”

“Gue ke Centro dulu. Tar elu nyusul aja ya.”

“O gitu. Baiklah.”

“Nyengir lo. Kayak kuda tau. Bilangnya cuma sebentar.”

“Hehehehe… Bye Libby. Tar lagi aku susul kok”

“Dasar. Ya udah tar telpon aja.”

Sepeninggal Libby, Rhea beralih ke rak majalah. Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dan menyebut namanya.

“Rhea.”

Rhea menoleh.

“Indra! Hai!” Rhea setengah berteriak setelah mengenali pria yang sempat mengagetkannya beberapa saat yang lalu. Indra adalah teman Arga waktu SMA. Rhea dan yang lain saling kenal waktu Indra main ke rumah Oom Dewa yang sekarang mereka tinggali.

“Sendirian aja, Rhe?”

“Engga kok. Tadi sama Libby sama Dewa. Cuma kita misah.” jawab Rhea sambil melirik cewek tinggi semampai yang berdiri di samping Indra.

“Eh, iya. Kenalin nih. Dian. Rhea ini sahabat Arga. Masih ingat Arga temen SMA yang aku certain dulu kan?” kata Indra kepada cewek di sebelahnya.

“Hai. Rhea” Rhea tersenyum sambil mengulurkan tangannya.

“Dian. Gue… ceweknya Indra.” Cewek yang belakangan diketahui Rhea bernama Dian itu membalas uluran tangan Rhea dengan dingin.

“Kalian baru datang, ya?” tanya Rhea.

“Iya. Emang Libby sama Dewa kemana, Rhe? Dewa masih siaran di Radio yang dulu itu kan? Kadang-kadang suka dengerin juga sih”.

“Iya lah. Tuh anak kalo ngga cuap-cuap malah bengong ngga ada kerjaan. Dasar emang kaya turunan tuh anak. Dia lagi cari… tau deh di Electronic Solution. Libby baru aja cabut ke Centro. Tadinya di sini nemenin aku, tapi kayaknya udah ngga betah dia”

“Hahaha… kasian deh yang ditinggalin. Eniwe, kalian masih tinggal di Menteng? Udah lama juga aku nggak kontak sama Arga.”

“Masih. Kamu aja yang udah nggak pernah nengokin Arga. Kapan-kapan ajakin juga tuh si Dian. Biar tambah rame tuh rumah”. Rhea mengedip ke arah Dian yang ditanggapi muka-polos-aka-tanpa-ekspresi dari Dian. Nih cewe jelmaan nenek lampir kali, batin Rhea. “Arga akhir-akhir ini sibuk banget, ke luar kota mulu. Kehilangan satu spesies deh tuh bonbin. Kali aja kalian mau nambahin hahaha…”

“Iya deh kalo ada waktu kita sempetin ke sana, ya kan, sayang?” kali ini Dian yang menjawab sambil bermanja pada kekasihnya.

“Pasti. Tar kalo mau ke sana aku telpon kamu deh, Rhe.”

“Siiip. Gitu dong. Kamu masih tinggal di Kemayoran kan?”

“Yohaaa. Kapan-kapan kalian dong yang maen ke Kemayoran”.

Percakapan mereka terhenti oleh seorang ABG yang menyela ingin mengambil majalah Cosmogirl yang kebetulan ada di belakang Rhea berdiri.

“Maaf, mba. Permisi sebentar ya. Mau ngambil majalah”

“Oh, iya, silakan. Maaf ya” kata Rhea sambil memindah posisi berdirinya. Mereka bertiga akhirnya keluar dari area rak majalah, setelah terlebih dulu Rhea mengambil Chic Magazine, dan Dian membawa Cosmopolitan.

“Kamu lagi cari buku apa, Rhe?”, tanya Indra.

“Ini nih. Udah dapet kok.” Jawab Rhea sambil menunjukkan buku bersampul merah tua.

“Deception Point. Aku kemaren juga baru beli, tapi belum sempet kebaca. Bagus ngga sih?”

“Caelaaah. Manusia sibuk nih, kerjaan mulu yang dipikirin. Bilangin tuh, Yan, jangan kerja terus”.

Dian tersenyum.”Susah dibilanginnya. Tapi paling nggak dia selalu ada waktu buat aku.”, jawab Dian sambil melirik Indra. Yang dilirik balik tersenyum, sedikit terpaksa.

“Kalo udah baca kasih tau ya, Rhe. Bagus enggaknya.” Indra mengalihkan pembicaraan.

“Aku udah baca sih, dulu sebelum ini buku terbit di sini udah cari download-an di internet. Seru kok. Nggak kalah seru sama Angels and Demons. Yang ini lebih banyak penjelasan ilmiahnya malah. Seru.”

“Oh, ya? Wah, jadi pengen buru-buru baca nih. Kok itu beli lagi?”

Kan buat koleksi hehehe…”

Ponsel Rhea bergetar. Miss Lilieb OCD calling...

“Udah dapet, By? Ada Indra nih di sini, sama Dian”

“…”

“Iya, temennya Arga yang dulu pernah ke rumah.”

“…”

“Iya, iya udah. Ya udah aku ke nyusul sekarang”

“…”

“Okay bos”

Klik

“Ndra, Yan. Aku cabut duluan ya, Libby udah nungguin. Eh, iya, salam dari Libby”

“Oh gitu. Okay. Kita mau muter-muter dulu. Salam balik buat Libby.”

“Bye. Yan, kapan-kapan ke Menteng minta anter Indra.”

Libby melambai. Indra balas melambai. Dian terseyum (lagi).

Sesampai di rumah. Dewa sudah meletakkan dispenser baru di sebelah kulkas si dapur. Beberapa benda elektronik lain yang entah apa langsung masuk ke kamar dia. Libby sedang mencoba gaun barunya di kamar Rhea sementara Rhea sendiri asyik membuka-buka Chic Magazine edisi terbarunya.

“Cantik nggak, Rhe?” tanya Libby sambil memandang bayangannya di cermin dalam balutan blus warna peach berlengan pendek dengan aksen payet cantik di leher dan bagian bawah.

“Aku lebih suka Accent putih yang di Centro tadi, sih”

“Terlalu simple ah. Bagusan ini”

“Hmmm… ya udah.” Jawab Rhea cuek. Matanya masih menatap majalah di tangannya, ada artikel menarik tentang liburan ke Bunaken yang membuatnya enggan memalingkan wajahnya. Baru setelah ponselnya berbunyi, memaksanya mengalihkan pandangan matanya pada tas hitam di sudut tempat tidur .

“Nomor siapa nih?” tanya Rhea pada dirinya sendiri setelah melihat deretan angkat tak dia kenal di LCD ponselnya.

“Halo.” Rhea menjawab juga nomor tak dikenal itu.

“…”

Yap. Siapa di sana?”

“…”

“Mmmm… Dian? Hei, Yan!” Rhea setengah berteriak. Libby menoleh ke arahnya dengan ekspresi kenapa-nih-anak yang ditandai dengan kerutan di tengah-tengah kedua alisnya, tapi kemudian menatap kembali bayangannya di cermin dengan baju barunya.

“…”

“Udah di rumah nih. Pasti dapet nomorku dari Indra ya?”

“…”

“Maksudnya?”

“…”

Tiba-tiba terjadi perubahan pada tekstur muka Rhea yang semula ceria dengan tarikan menyamping pada kedua sudut bibirnya, sekarang bibir itu perlahan mengerucut, disertai penggembungan di kedua pipi, alis mata kanan dan kiri bagaikan kutub magnet utara dan selatan yang tarik-menarik. Tetapi tak lama kemudian ada tarikan ke atas di sudut bibit membentuk ekspresi jijik. Libby yang melihat perubahan ekspresi pada Rhea menjadi tertarik untuk mengetahui ada apa sebenarnya.

Libby mendekati Rhea dan membentuk gerakan bibir tanpa suara yang dipahami Rhea sebagai kata ‘SIAPA?’. Rhea hanya menjawabnya dengan mengangkat kedua bahu sambil mencibir.

“Hei, dengar ya!!” Libby langsung menangkap kalau Rhea marah.

“Halo!! Halo?!?!?!” Telepon terputus.

“Ough!! Dasar nenek lampir!!” Rhea ngedumel.

“Siapa sih, Rhe? Dian siapa?” Tanya Libby.

“Orang gila yang kurang kerjaan sampai ngurusan hal-hal ngga penting.”

“Eh, itu Dian pacar Indra yang tadi lu certain, bukan? Emang dia ngomong apaan sih sampe lu segitu marahnya?”

“Dasar wanita aneh. Masa dia marah-marah ke aku gara-gara ngobrol sama Indra tadi siang.”

“Heh!! Serius lo? Masih ada ya makhluk kayak gitu di bumi? Damprat cewek yang bersosialisasi sama cowoknya”

“Nah ini buktinya masih ada. Masih idup. Masih bisa nelpon. Marah-marah lagi. Dulu pas pemusnahan massal berhasil lolos kali dia.”

“Hahaha… Emang lo ngobrol apa sih sama Indra? Pake ciuman ngga?”

“Engga lah. Pelukan doing. Gila apa? Ya ngobrol biasa aja kali. Orang ngobrolnya juga sama si Nenek Lampir itu. Tapi, masa dia marah cuma gara-gara aku ngomongnya pake aku-kamu sama Indra. Nggak penting.”

“Hahaha… Oooo jadi itu masalahnya?” Libby tertawa.” Buat lo mungkin nggak penting, tapi ada beberapa dan kebanyakan malah, nganggep hal itu penting.”

“Emang artinya beda apa? Aku? Kamu? Gue? Elo?”

“Begini neng geulis, artinya memang sama, tapi konteksnya beda. Penggunaan kata ganti aku-kamu itu untuk orang yang dianggap dekat, intim, atau orang dengan hubungan lebih dari sekedar teman. Di luar itu, sebaiknya pake elo-gue.”

“Itu menurut siapa?”

“Menurut pemikiran gue dan sebagian besar penduduk di Jakarta ini.”

“Oke. Tadi kamu bilang untuk orang yang dianggap dekat. Kamu kalo ke aku, Wulan, dan lainnya masih pake elo elo. Nggak ngerasa dekat sama kita-kita?”

“Hmmm… aduh… gimana ya?” Libby menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kalo gue bilang sih itu ke arah korelasi hati yang lebih memfokuskan hubungan antara pria dan wanita. Singkatnya, pacar. Atau dua orang non muhrim yang terlibat hubungan hati.”

“Caelaaaah. Ngomongin muhrim lagi hehehe…”

“Gue bingung ngejelasinnya, Rhe. Lagian elu ini lugu apa dodol sih?” Libby jengkel sampai menoyol kepala Rhea.” Soalnya ada juga orang dalam satu keluarga, misal kakak adik memanggil satu sama lain bukan dengan aku-kamu, tapi pake elo-gue. Termasuk gue sama kakak gue. Kecuali sama orang tua dan setaranya, ya.”

“Nah kalo misalnya aku nggak boleh pake aku-kamu masa pake saya-anda? Lah itu kan malah menuakan.”

“Hmmm… beda kali, Rhe. Kalo aku-kamu versus elo-gue tadi konteksnya ke arah kedekatan secara batiniah. Halah! Hahaha… “Libby tertawa sendiri dengan ucapannya. “Nah kalo saya-anda tadi mungkin lebih kepada keresmian atau penghormatan. Kayak di bahasa Sunda bukannya juga ada Rhe? Bahasa kasar-halus. Urang-maneh sama abdi-anjeun. Bener nggak?”

“Aaaah, sebenarnya ada nggak sih kata elo-gue di Kamus Besar Bahasa Indonesia? Aku orang Sunda, vocab begitu mana kenal? Pake dong Bahasa Indonesia yang baik dan benar.”

“Elu mau kampanye penggunaan Bahasa Indonesia? Hahaha… Ya kalo orangnya udah kenal lama atau maklum sama kamu sih nggak masalah, Rhe. Nah kalo elo ketemu sama orang kayak Dian tadi? Secara lo hidup di Jakarta gitu loh.”

“Yaaa… gimana ya? Nggak biasa sih. Kalo dipaksain buat biasain pake elo-gue mungkin lama-lama biasa juga sih. Tapi ya maap, Bu. Saya memilih menggunakan memori otak saya yang terbatas untuk hal lain yang menurut saya lebih penting.”

“Halah. Ya terserah sih. Tapi paling engga kejadian elu didamprat cewek gara-gara ngomong aku-kamu sama cowoknya nggak terulang.”

“Huh!! Jadi… gue? Gue? Salah gue? Salah temen-temen gue?” Rhea menirukan dialog Cinta yang diperankan Dian Sastro di film Ada Apa Dengan Cinta?

“Dasar keras kepala” kata Libby sambil melempar bantal ke kepala Rhea.



*based on true story (halah)*

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

by me