6.1.09

Aku Cinta Kamu, Erik…

16 Maret 2007

Selamat malam, diary… huff… masih hari yang biru.

Aku baru saja memutus telpon dari Ayah saat Ibu mengetuk pintu kamar. Ketika aku buka pintu kamar dan melihat wajah Ibu, aku sudah tahu apa yang ingin beliau sampaikan. Hal yang sama dengan dibicarakan Ayah lewat telepon, memintaku menemaninya ke sidang perceraian besok. Yang berarti, menempatkan aku pada posisi di mana aku harus memilih satu dari dua makhluk egois yang celakanya sangat kucintai ini. Dan, seakan aku membuat de javu-ku sendiri, aku hanya membisu ketika Ibu mengutarakan keinginannya. Hal yang sama kulakukan pada Ayah. Menurutmu aku harus bagaimana, diary? Kalau aku memilih Ayah, Ibu pasti bilang aku anak durhaka, kalau aku memilih Ibu, kata Ayah aku pilih kasih. Ibu sering bercerita sambil menangis-nangis tentang deritanya hidup bersama Ayah, mengutuk apapun perbuatan Ayah pada beliau, seakan ingin menanamkan kebencian pada Ayah di diriku. Ayah pun begitu, dengan gaya bijaksana mengulang-ulang kisah kesabarannya menghadapi Ibu yang kini sudah melebihi batas kemampuannya sehingga beliau harus berpisah dengan Ibu. Tapi, apa pernah mereka mempertimbangkan perasaanku? Bagaimana aku harus bersikap ketika berada di posisi di tengah perseteruan dua orang yang menjadikan aku ada di dunia ini? Mereka hanya melihat luka masing-masing. Diary, coba aku bukan anak tunggal ya, coba aku punya saudara hingga aku bisa berbagi semua ini. Aku harus bagaimana, diary?


17 Maret 2007

Hari ini, secara resmi aku menjadi anak korban broken home. Aku memang tidak mendengar langsung ketika hakim mengetuk palu, menandai bahwa beliau sudah membuat suatu keputusan yang tidak dapat diubah. Orang tuaku bercerai. Ayah dan Ibuku akan hidup terpisah. Akhirnya, aku tidak menemani mereka berdua. Aku lebih memilih menghabiskan waktuku bersama Bimo di atas hijau meja billiard dari pada menatap hijau meja sidang. Lebih baik mendengar celetok suara benturan bola biiliard dari pada suara ketukan palu hakim yang penuh kesombongan. Tadi pagi pacarku ini langsung mengiyakan ketika aku meneleponnya minta ditemani main billiard. Jam 9 malam aku baru pulang, Ibu sudah sedang duduk di ruang tamu. Aku tahu beliau menungguku. Ibu terseyum lebar seakan baru saja memenangkan sebuah pertempuran. Beliau langsung memelukku, sambil berkata bahwa aku akan tinggal dengannya, dan kami takkan kekurangan dari segi finansial karena Ayah bersedia membayar santunan tiap bulan senilai tuntutan Ibu. Iya, hak asuh anak jatuh ke tangan Ibu. Selamat ya, Bu… Ayah, bagaimana kabarmu?

Bimo SMS, menanyakan kabar dan memberi semangat agar aku kuat. Lama aku memandangi deretan huruf itu, tanpa ada keinginan untuk membalas. Aku hanya memandang deretan nama di phone book-ku,hingga aku berhenti di satu nama. Cukup lama hanya kupandangi nama itu, hingga kuputuskan untuk memencet keypad bergambar telepon berwarna hijau. Nada panggil kedua, aku mendengar suaranya. Akhirnya, air mata yang seakan tersumbat selama beberapa hari terakhir, bisa kutumpahkan semua pada Erik, sahabat terbaik yang sejak SMA dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Selalu ada di saat aku dalam keadaan rapuh, bahkan dalam kondisi terapuh seperti sekarang ini. Aku terisak selama hampir 2 menit, kemudian, mungkin hanya kata terima kasih satu-satunya bahasa yang keluar dari mulutku yang bisa dia pahami. Dia tidak bertanya sama sekali, kurasa dia sudah mengerti apa yang membuat aku menangis. Sejak kedua orang tuaku mulai sering bertengkar, sejak teriakan dan kata-kata kasar seakan menjadi hal yang biasa di rumah ini, sejak Ayah mulai jarang pulang ke rumah, aku hanya bercerita semua pada Erik. Dia selalu jadi pendengar yang baik, seperti saat ini. Dia hanya berkata, "Seorang Lila pasti bisa melalui apapun. Aku kenal Lila".

Ah, Erik, kenapa sih pake kuliah di UGM segala? Kan di Jakarta juga banyak Universitas yang bagus. I miss you, my best friend….


20 Maret 2007

Diary, tadi siang aku bertengkar hebat sama Bimo. Yah, masih karena masalah klasik yang dari dulu timbul tenggelam. Susah memang punya pacar posesif. Dia cemburu sama Erik, ketika aku bilang aku sedang menelepon Erik ketika dia meneleponku dan mendapati busy tone. Padahal lama sebelum aku pacaran sama dia, dia sudah tahu kalau aku dan Erik hanya bersahabat, tak lebih dari itu. Toh dia juga kenal Erik. Kata Siska wajar kalau Bimo cemburu, iya juga sih. Tapi ya mbok yao dia itu empati sedikit, sudah tahu aku masih down karena masalah kedua orang tuaku, malah ditambahin masalah sama dia.

Tadi Erik SMS, katanya dia dan teman-temannya punya rencana ke Semeru cuma kapan waktunya belum dipastikan. Dia ngajak aku dan Bimo untuk ikut. Aaaahhh, dia nggak tahu sih gimana hubunganku sama Bimo saat ini. Rik, kenapa nggak sekarang aja sih ke Semerunya? Hehehe…


28 Maret 2007

Officially berstatus jomblo lagi.

Bimo emang baik banget, selalu mengiyakan apa mauku. Tapi ya gitu, aku udah nggak tahan sama sifat posesif dia, kadang kecemburuannya nggak beralasan. Masa gara-gara aku senyum sama seniorku pas papasan jalan aja dia udah marah. Orang yang aneh.

Erik ketawa ngakak ketika aku cerita sama dia. Katanya "Mustinya dari dulu aku peringatin Bimo kalau kamu tuh kayak belut". Dasar emang tuh anak nggak pernah belain aku kalau aku bermasalah sama cowok.

Ada satu pertanyaan dia yang mengusikku, "Sebenernya, kamu pengen cowok yang kayak gimana sih?". Diary, kenapa aku langsung terbayang Erik ya?


5 April 2007

Diary, kok aku kangen Erik ya? Tapi rasa kangennya lain dari yang biasanya. Apa aku jatuh cinta sama Erik? Aku nggak tahu, kenapa tiap hari yang terbayang cuma Erik. Belakangan aku suka deg-degan kalo ngobrol sama dia.

Diary, boleh nggak sih aku jatuh cinta sama Erik? Aku sayang Erik. Aku nggak mau jadi sahabat dia, aku mau lebih.

Lusa dia pulang ke Jakarta, dia minta ketemuan di Monas, katanya pengen lihat air mancur menari. Norak banget nggak sih? Apa aku ngomong aja ya? Aku pengen bilang kalau aku sayang sama dia, aku cinta sama dia. Aku harus ngomong, dia harus tahu. Entah reaksi dia seperti apa aku nggak peduli. Aku cuma pengen dia tahu. Doakan aku ya, Diary…


7 April 2007

Diary… Aku nggak jadi bilang ke Erik kalo aku sayang sama dia. Aku takut, aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi dia kalau sahabatnya ini menyatakan cinta padanya. Aku takut sikapnya justru akan berubah kepadaku, aku takut dia akan menjaga jarak denganku. Aku nggak mau itu. Biar saja rasa cinta ini tak terungkap asalkan aku masih bisa dekat dengannya, sebagai sahabatnya. Besok dia balik ke Jogja, aku akan merindukannya, diary…


25 Mei 2007

Ihiiyyy… aku besok berangkat ke Jogja. Duh, nggak sabar sampai besok. Tadi Erik telepon, katanya mau jemput di stasiun. Aku besok ketemu Erik. Cihuiiiii….


26 Mei 2007

Aku melihat dia dari jendela kereta, sedang berdiri celingukan menatap satu persatu gerbong kereta yang berjalan makin pelan dan akhirnya berhenti. Aku beranjak turun dan mendapatinya masih mencari-cari seseorang. Aku. Baru setelah kupanggil namanya dia tersenyum dan menyambutku, membawakan tasku berjalan ke luar stasiun. Setelah menemukan hotel yang cocok, barang bawaanku kutinggal di situ semua dan kita langsung ke rumah nenek Erik. Selama kuliah di UGM, dia tinggal bersama neneknya yang sudah menjanda dan ngeyel hidup sendiri, tidak mau tinggal bersama anak-anaknya dengan alasan tidak mau meninggalkan rumah tempat beliau dan suami beliau bersama. Romantis sekali, sangat beda dengan kedua orang tuaku. Jadi Erik tinggal di rumah itu sekalian menemani neneknya.

Sayang sekali Erik tidak bisa menemaniku lama, tiba-tiba dia menerima sebuah panggilan telepon dari seorang temannya yang memintanya segera datang ke sebuah tempat. Tapi, dia berjanji dia akan kembali besok dan mengajakku ke suatu tempat. Huhu, ga sabar menunggu besok…


27 Mei 2007

Pagi ini aku terbangun karena guncangan keras, semua benda bergoyang dan berjatuhan. Gempa bumi. Aku langsung lari ke luar, hanya ponsel yang bisa kubawa. Ketika kubuka pintu, kulihat sudah banyak orang berlarian, aku mengikuti mereka. Turun ke lantai dasar lewat tangga darurat. Dari lantai 3 tempat kamarku berada sampai ke lantai dasar terasa sangat jauh. Akhirnya aku dan beberapa orang sampai dengan selamat sampai ke luar hotel. Kami bertangisan. Bingung apa yang kami tangisi.

Aku ingat Erik. Kucoba menghubunginya lewat ponsel, tak pernah ada nada panggil. Tidak aktiv atau di luar jangkauan. Begitu berulang kali. Aku mulai panik, tak tahu harus berbuat apa, hanya menangis. Ibu menelepon, beliau khawatir mengetahui berita dari televisi. Sekali lagi aku hanya bisa menangis. Erik masih belum bisa kuhubungi.

Sekitar jam 9, nenek Erik menelepon, memintaku datang ke rumah beliau. Ketika kutanya bagaimana keadaan Erik, beliau tidak menjawab, hanya memintaku untuk segera datang ke rumah beliau.

Kulihat Nenek Erik sudah menungguku di depan pintu ketika akhirnya aku sampai di rumah beliau. Mata beliau merah dan sembab. Ketika aku menengok ke dalam, kulihat seseorang terbujur tertutup kain batik. Itu Erik. Erik, meninggal karena tertimpa pecahan beton akibat gempa bumi tadi pagi.

Aku merasa separuh jiwaku hilang. Aku bahkan belum bilang betapa aku sayang padanya, betapa aku cinta padanya, betapa dia yang selama ini jadi sandaran hidupku. Dia pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal padaku. Dia belum membawaku ke Semeru, bahkan dia berjanji mengajakku ke suatu tempat yang sampai sekarang masih menjadi rahasianya. Dia takkan menepati janjinya. Dia pergi. Pergi untuk selamanya.

Nenek Erik merangkulku, kami berpelukan. Kemudian beliau memberikan sebuah kotak kecil padaku. Beliau bilang, Erik sudah lama menyiapkannya untukku. Gelang kaki. Isinya seuntai gelang kaki perak dengan beberapa logam perak berbentuk bintang teruntai di sekelilingnya. Aku ingat, suatu hari kita menonton film Korea, dalam salah satu adegannya si pria memberikan gelang kaki pada wanitanya dan berkata bahwa jika seseorang memberi gelang kaki pada orang lain, maka mereka akan dipertemukan di kehidupan berikutnya. Kontan waktu itu aku berkata padanya, jangan sampai memberiku gelang kaki, sudah cukup aku bersamamu di dunia ini.

Aku masuk ke kamarnya, menatap sekeliling, mencoba mencari keberadaannya di kamar ini. Kutemukan sebuah diary di dalam laci. Aku baru tahu kalau Erik suka menulis di diary juga. Kubuka halaman terakhir, kutemukan sebuah tulisan yang membuatku tak dapat membendung air mataku.

Tak akan kuulang kepicikanku ketika terakhir kali bertemu dengannya di Monas. Lusa, akan kukatakan semua.

Dialah yang selalu mengisi hatiku. Aku ingin memilikinya. Aku ingin menjadi sahabatnya, bukan hanya saat ini, tapi untuk selamanya. Aku ingin menjadi teman hidupnya. Di kehidupan saat ini, dan kehidupan berikutnya. Aku ingin bersamanya selamanya.

Aku cinta kamu, Lila…

Kemudian kutuliskan di diarynya tepat di bawah tulisan terakhir dia…

Aku cinta kamu, Erik…

by me