2.7.06

Welcome Wulan!!

Minggu pagi di bandara Sukarno Hatta.

Dari terminal kedatangan, Wulan mendorong troli berisi 2 travel bag besar . Sebuah hand bag hitam nangkring di bahunya. Gadis hitam manis itu celingukan mencari seseorang atau beberapa orang yang mungkin dikenalnya. Dengan tingginya yang 170 cm itu, hampir tak mungkin orang-orang yang di depannya menghalangi pandangannya. Tapi, lalu lalang hari Minggu itu amat ramai. Tak berapa lama, lengan yang dibalut cardigan krem itu melambai, dan disambut lambaian seorang gadis bertubuh mungil. Gadis itu sedikit meloncat-loncat, sehingga T-shirt merah yang melindungi tubuhnya sedikit terangkat, memperlihatkan kulit pinggangnya yang putih. Sementara, pria di sebelahnya sibuk memencet-mencet keypad ponselnya. Entah apa yang dia lakukan.

"Wulan!! Di sini!!", Rhea berteriak sambil tetap melambai setelah akhirnya melihat sosok yang ditunggunya sejak hampir satu jam yang lalu.

"Arga ngapain sih? Itu si Wulan tuh", Arga yang merasa ada pukulan keras di bahunya segera menghentikan aktivitas berponselnya.

"Heh! Mana? Ini baru mau ditelpon"

Wulan yang sudah berjarak tak kurang dari 5 meter dari kedua sahabatnya terlihat ngos-ngosan mendorong troli berikut isinya yang beratnya mungkin bisa mencapai 20 kg itu. Dia tersenyum.

"Rheaa..." Wulan menyapa. Dilanjutkan cipika cipiki.

Klasik. Pikir Arga.

"Kok Rhea doang? Gue juga dong. Udah disiapin dari jam 5 subuh nih, khusus buat Wulan seorang", canda Arga sambil menggosok-gosok pipinya sendiri.

Wulan cuek. Perhatiannya masih pada Rhea. Dia merasa ada sesuatu yang beda pada sahabatnya itu.

"Ciyeeh, habis dapet wangsit apa neng dari gunung Galunggung?", celetuk Wulan sambil menarik lembut rambut sebahu Rhea. Hal yang jarang bisa dilakukan karena biasanya helaian rambut itu tidak bisa disatukan dalam satu ikatan karet yang biasa dikenal dengan kuncir.

Rhea yang diposisikan sebagai terdakwa hanya diam sambil tersenyum malu-malu.


"Lu cewek kayak ga tau aja kenapa cewek ngrubah penampilannya. Ada temen kantor yang memenuhi 7 dari 10 kriteria pria idaman seorang Rhea", Arga yang ga ditanya malah nyerocos ngejawab sambil mengambil alih troli dari tangan Wulan.

"Kotex kali, 7 dari 10? Iklan banget sih ", Rhea dongkol. Wulan dan Arga tersenyum sambil melirik satu sama lain.

"Lan, tadi kamu kayak orang ilang aja celingukan ga jelas gitu", Rhea mengalihkan pembicaraan.

"Iya, hampir aja kita mo bentangin spanduk yang ada tulisan WULAN, WE'RE HERE. Lagian, Lan. Kok telat sih?", tanya Arga sambil melihat jam tangannya.

"Sori ya teman-temanku yang baik hati, tadi bannya bocor, trus susah cari tukang tambal ban. Untung mereka bawa dongkrak sama ban serep. Hahahaha..."

"Eh, lu bisa ngaco juga, Lan. Cuci otak ya di Kalimantan? Apa kena sihir orang Dayak? Biasanya lurus-lurus aja".

"Emang rambut, lurus".

"Iya deh iya, yang rambutnya kena efek jatuh cinta"

Rhea yang baru sadar kalo kata-katanya barusan malah jadi bumerang buat dirinya buru-buru melancarkan manuver untuk kabur.

"Udah, ah. Yuk pulang"

"Tapi tar kalo udah nyampe crita yah", jawab Wulan sambil menyenggol bahu sahabatnya itu.

Rhea sekali lagi Cuma diam. Arga yang berjalan tepat di belakang kedua wanita itu tertawa cekikikan.

"Kita naik taksi ya, Lan. Mobil gue masuk bengkel", Arga menginfokan.

"Iya, gapapa. Oh, iya. Libby sama Dewa mana?" Wulan baru nyadar kalau ada yang kurang.

"Dewa lagi ngeservis komputernya. Lagi penyakitan", jawab Rhea.

"Kenapa lagi tuh kompi?"

"Gimana gak penyakitan terus kalo 20 Giga isinya bokep semua"

"Gak berubah juga tuh anak"

" ... "

"Libby? Shopping?"

"Engga. Lagi masak dia. Buat acara penyambutan putri Solo."

"Aku dari Jogja, Rhe. Bukan Solo."

"Hehehehe... beda tipis," kelit Rhea sambil mengatupkan ibu jari dan jari telunjuk kanannya.

"Libby? Masak?" Wulan mengerutkan alisnya.

"Semalem kita maen poker. Ga pake celontengan bedak lagi. Sebagai gantinya siapa yang kalah, dia harus masak hari ini. Tenang aja, nanti kalo sekiranya tuh masakan bikin kita keracunan, kita makan di luar aja."

"Dasar kamu, Rhe."

Mereka berdua tertawa. Arga yang sudah menunggu di pintu taksi setelah memasukkan dua tas super gede Wulan ke bagasi, menatap dongkol kedua wanita yang sudah dikenalnya sejak 4 tahun lalu itu. Dasar kaum hawa. Umpatnya dalam hati.

Tiga sahabat itu berhahahihi di dalam taksi. Arga di depan, Wulan di belakang sopir, dan Rhea di sampingnya. Mereka bercerita pengalaman masing-masing, juga disertai obrolan ringan ini itu. Pak sopir tidak tahan untuk tidak ikutan nimbrung. Rhea sedikit lega karena belum ada yang berinisiatif membahas rambut barunya.

"Ladya gimana kabarnya, Ga?"

"Baik, kok. Oh, iya. Dia titip salam buat elu. Sori ga bisa ikut jemput. Lagi liburan ke Bali sama keluarganya," jelas Arga.

"Engga apa-apa. Kayaknya pada repot banget sih aku datang. Eniwe, kok kamu ga ikutan ke Bali?"

"Kan masih calon keluarga. Hahahahaha…"

"Kalian udah brapa lama sih? Mmmm ... 2 tahun ya?"

'Tanggal 19 bulan ini tepat 2 tahun 4 bulan."

"2 tahun 4 bulan? Udah bisa apa aja?" sela Rhea

"Maksudnya... ?" Arga dan Wulan merespon hampir berbarengan karena bingung.

"Anak Uwa aku udah umur 3 taon cuma bisa ngomong mama doang."

"Sarap," Arga mengumpat jengkel. Rhea cekikikan.

"Udah lama gitu bukannya nikah aja, Ga?" lanjut Wulan.

"Hmmm... pengennya sih, hehehe... Gue masih nabung dulu, Lan. Buat beli rumah, ini itu. Mo gue kasih makan apa anak bini gue nanti?"

"Makan cinta," sela Rhea lagi.

"Lu kayaknya sentimen banget sih sama gue, Rhe."

"Udaah... Sesama Bandung ga boleh perang," Wulan menengahi.

"Sesama Bandung? Rhea mah Bandung coret. Hahahaha..." Arga tertawa. Rhea cemberut. "Iya deh iya, coret pun depannya tetep Bandung. Sesama Bandung," tambah Arga sambil mengacungkan jari kelingkingnya ke depan Rhea. Jeda beberapa detik, kelingking Rhea terangkat mengait kelingking Arga.

'Piss. Bandung poreper," kata Arga.

Keduanya tertawa. Wulan tersenyum.

"Bang, tikungan depan belok kanan yah," kata Rhea pada sopir taksi mencegah taksi kebablasan.

Mereka sudah sampai di kawasan Menteng. Taksi berbelok halus ke kanan, seperti yang diinstruksikan Rhea pada si sopir menuju sebuah perumahan yang bisa dibilang elit. Tak lama kemudian mereka sampai di rumah nomor 67. Rumah bercat kuning gading itu besar, ada dua lantai, dengan halaman dan taman yang luas. Rumah ini milik Oomnya Dewa. Karena ada tugas ke luar negeri untuk waktu yang lama, sementara kedua anaknya sudah berumah tangga dan masing-masing sudah punya rumah, maka kewajiban menjaga rumah seharga milyaran itu diserahkan pada keponakannya, Dewa. Dewa sendiri juga anak orang borjuis. Anak tunggal yang harus siap menerima tampuk kepemimpinan perusahaan ayahnya setiap saat ayahnya pensiun. Orang tua Dewa tinggal di kawasan Bintaro. Tapi, karena Dewa sendiri bekerja sebagai announcer sebuah radio di daerah Thamrin , dia memilih untuk tinggal di rumah Oomnya dengan alasan jarak lebih dekat ke kantor. Agar tidak kesepian, Dewa mengajak sahabat-sahabatnya semasa kuliah di Bandung. Arga, Rhea, Libby, dan sekarang nambah lagi Wulan.

Setelah membayar sejumlah sebagaimana angka yang dibentuk deretan led merah di argometer pada si sopir taksi, Arga turun dan menurunkan travel bag dari bagasi. Sementara Rhea dan Wulan berjalan masuk tanpa menoleh pada Arga yang jadi kuli angkut dadakan.

"Wulaaaan... akhirnya nyampe juga," teriak Libby. Celemek biru tua melekat di tubuhnya.

"Kok lama sih? Gue udah nunggu lama tau. Pesawatnya delayed yah? Wah, elo tambah cantik aja, Lan. Suer. Tambah gemukan lagi, jadi kliatan seksi loh," cerocos Wulan setelah melakukan ritual umum cewek-cewek yang lama berpisah dan akhirnya bertemu kembali.

"Libby nyerocos mulu nih. Makanan udah siap blom?" sergah Rhea memotong nostalgia Libby dan Wulan.

"Siap. Bos. Siapa dulu dong kokinya?"

"Serius ? Masak apaan?"

"Yee... kalo ngga percaya liat aja tuh di meja makan. Sudah siap untuk 5 orang. Ada cap cay, kwetiauw, sapo tahu, ... lu masih suka Chinese food kan, Lan?"

"Banyak banget. Libby masak apa beli?" tuduh Rhea.

"Kalo bisa beli, ngapain susah-susah masak?"

"Dasar curang. Trus itu ngapain pake celemek segala?"

"Hehehe... Karena udah ketauan, dilepas aja deh," Libby nyengir sambil melepas ikatan celemek di pinggangnya. Terlihat celana pendek putih dan tank top dengan warna yang sama di balik celemek biru tua yang ditanggalkan itu.

"Dasar," kata Rhea dongkol. Wulan sekali lagi cuma tertawa melihat kelakuan kedua sahabatnya itu.

"Makan apa aja deh. Laper nih. Malah lebih bagus kalo bukan masakannya Libby," dari tangga Arga tampak kelelahan setelah meletakkan barang bawaan Wulan di lantai atas. "Kamar elo di atas, Lan. Tas udah ditaroh di sana semua. Cewek di atas cowok di bawah," Arga mengedipkan mata ke Wulan.

"Ya udah, makan aja yok," ajak Libby.

"Ngga nunggu Dewa dulu?" tanya Wulan.

"Oh, iya. Tuh anak lama banget sih. Nyantol di mana lagi dia? Ngga inget kalo Wulan dateng apa?. Gue telpon aja deh."

Arga merogoh ponsel di sakunya, mencari nama Dewasinting. Terdengar Naluri Lelaki-nya Samson. Beberapa detik kemudian

"Wa, di mana lo?"

...

"Wulan udah sampe nih. Mo ke mana lagi sih lo?"

...

"Kutu kupret. Gue udah laper tau. Nih para wanita ngga mau makan kalo ga kumplit. Udah buruan balik."

...

"Beneran 15 menit ya. Lebih dari itu, elo yang gue makan"

Arga memasukkan lagi ponselnya ke saku celananya.

"15 menit lagi katanya."

"..."

"Dooh, gue udah laper nih. Makan duluan boleh ga?"

"Yee, Arga. Ngga boleh. Tuh ada brownies sisa kemaren tuh", Rhea protes.

Arga akhirnya nurut. Memang susah jadi pria tunggal di antara tiga wanita. Rese semua lagi. Kecuali Wulan tentunya. Dia makan juga brownies yang dibeli Rhea kemaren. Dia tahu, 15 menit menurut Dewa, berbeda dengan manusia pada umumnya. Dewa tuh hidupnya di alam jin, yang waktunya beda dengan alam manusia.

Rhea, Libby, dan Wulan naik ke lantai 2 menuju kamar Wulan. Bongkar muatan travel bag Wulan, milah-milih oleh-oleh sambil berhahahihi. Mengacuhkan Arga yang mentitili brownies karena lapar.

30 menit kemudian, sebuah Honda Jazz merah hitam memasuki halaman rumah megah itu. Arga yang tertidur di depan TV dengan remote control di tangannya terbangun, menyadari kedatangan seorang manusia. Pasti Dewa, pikirnya.

Lelaki tinggi besar itu mengenakan jeans biru tua, T-shirt warna senada, dan jaket kulit hitam.

"Woi, bangun lo!! Sepi banget. Pada ke mana? Katanya Wulan udah nyampe?"

"Gue nungguin elo sampe ketiduran, dodol!!. Lagi pada di atas tuh. Gue panggil deh"

"Jangan. Gue aja yang ke atas. Pasti mereka terkejut kedatangan cowok ganteng."

"Ya udah terserah deh. Gue mo muntah dulu"

Dewa setengah berlari ke lantai 2, menuju kamar yang terletak di ujung, tempat dulu dia dan sepupunya main perang-perangan.

"Hi, girls!" sapanya sok artis

"Dateng juga akhirnya si tukang ngaret," Libby berseloroh.

Dewa mendekati Wulan kemudian menyalami tangannya.

"Gimana kabarnya, Lan?"

"Baik. Kamu sendiri gimana?"

"As you see. Ngomong-ngomong, mana nih bakpianya?"

"Bukan cuma kompinya nih yang error. Yang punya juga error," kata Rhea. "Sejak kapan di Banjarmasin ada bakpia? Dasar dodol!"

"Oh, Banjarmasin itu khasnya dodol? Ya udah dodol juga ngga papa deh"

"Capek deh ngomong sama Dewa," Rhea jengkel.

"Udah, ah. Yuk makan aja dulu. Kasian si Arga tuh," Libby menengahi. Sambil langsung berjalan keluar tanpa menunggu persetujuan teman-temannya. Ketiganya pun akhirnya mengikuti Libby di belakangnya.

Wulan agak canggung dengan kedatangan Dewa. Dewa pun demikian, hanya dia lebih mampu menyembunyikannya. Sejak kuliah dulu, di antara kelima sahabat ini, Wulan dan Dewa paling sering berselisih pendapat.

Di bawah, Arga sudah duduk di meja makan. Piring di depannya sudah dalam keadaan terbuka. Sendok di tangan kanan, dan garpu di tangan kiri.

"Ngapain aja sih? Gue abisin baru tau rasa lo"

"Lu kayak ga makan 3 hari aja, Ga," kata Dewa sambil duduk di sebelah Arga.

Setelah lengkap berlima, sesuai keinginan para wanita, barulah mereka mulai makan.

"Selamat makan semua," Rhea membuka acara makan siang itu.

"Selamat datang, Wulan" Dewa menimpali.

Wulan tersenyum kaku.



0 Comments:

Post a Comment

<< Home

by me